Jika tak sempat kau kenali diri ku maka kenalilah dirimu seutuhnya. Kemudian, lanjutkanlah perjuangan Adam dan Hawa. Jika ingin kau jumpai aku. Datanglah ke padang ribu-ribu. Kemudian, singgahlah di dangau puisi ku maka kita akan bersua. (DM. Thanthar)
29 September 2008
Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah; Kepemimpinan Sumatra Barat di Masa Orde Baru
Judul Buku : Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah; Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru
Pengarang : Irhash A. Shamad
Penerbit : IAIN-IB Press
Tempat Terbit : Padang
Tahun Terbit : 2001
Tebal Buku : xiii + 151 hlm
Resensi Doebalang
Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru awalnya menjadi harapan untuk pemulihan daerah dari kerusakan-kerusakan internal yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya (Orde Lama). Daerah yang merasa tujuan yang diusung oleh Orde Baru sejalan dengan tujuan mereka serta merta ikut berpartisipasi untuk menumbangkan Orde Lama. Bagi Sumatera Barat, peralihan tersebut sangat diharapkan menjadi kekuatan baru dalam upaya pemulihan harga diri dan identitas etnik daerah yang telah diobrak-abrik rezim Orde Lama.
Kepemimpinan Harun Zein (1967-1977) merupakan periode pemulihan sosial, ekonomi, dan politik Sumatera Barat yang hancur akibat PRRI. Hanya saja pada akhir tahun 70-an, setelah pemerintah pusat memperoleh legitimasi pada pemilu pertama, mulai terlihat tedensi-tedensi intervensi pemerintah pusat terhadap daerah. Tedensi itu makin menguat setelah dilaksanakannya pemilu tahun 1977.
Diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979, tentang pemerintahan desa, merupakan upaya penyeragaman sistem pemerintah di masa Orde Baru. Namun demikian, pelaksanaan UU No.5 Tahun 1979 tersebut lebih dirasakan sebagai upaya detradisionalisasi di tingkat lokal. Di Sumatera Barat, undang-undang tersebut diberlakukan pada tahun 1983. Penerapan sistem pemerintahan yang baru tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi, dan sangat berdampak kepada terpinggirkannya kepemimpinan nagari. Secara mendasar dan drastis UU No.5 Tahun 1979 telah merombak tatanan sosial tradisional yang telah berkembang sejak lama. Hak-hak preogratif dari kepemimpinan adat dalam struktur kepemimpinan nagari (Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai) yang selama ini berakar dalam tradisi kultural menjadi terpinggirkan oleh penerapan sistem pemerintahan formal secara efektif sampai tingkat bawah.
Berbagai keganjilan terjadi dalam proses peralihan pemerintahan nagari kepada pemerintahan desa. Keganjilan terjadi dalam masalah keamanan nagari, aspek peradilan, masalah matrimoni, urbanisasi, bahkan sampai pada aspek ketahanan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sistem kepemimpinan ideal yang demokratis dan dan telah diterapkan pada kepemimpinan nagari yang bersifat bottom-up secara pasti berubah kepada sistem kepemimpinan yang berorientasi pada sifat top-down. Akibatnya, penyangga kelestarian budaya lokal menjadi runtuh dan sekaligus berakibat pula terhadap rusaknya berbagai sistem internal daerah.
Intervensi politik pemerintah pusat telah memperlihatkan kecendrungan negatif dari model hegemoni pemerintahan pusat atas daerah. Kondisi itu telah memperlemah resistensi kebudayaan lokal. Anehnya, sistem tersebut dijalankan melalui tangan pemimpin regional itu sendiri tanpa adanya kemampuan, atau mungkin juga tanpa adanya kemauan, untuk melindungi identitas, kepentingan, dan kemandirian etnik.
Perubahan prilaku politik kepemimpinan daerah yang terjadi setelah penerapan UU No.5 Tahun 1979 dapat dikatakan sebagai penyebab lain timbulnya kerusakan sistem internal. Walaupun, pada dasarnya, perubahan prilaku itu adalah akibat dari melemahnya sistem internal yang ada di daerah. Artinya, kondisi tersebut telah memperlihatkan bahwa keadaan itu merupakan hubungan sebab akibat. Irhash menjelaskan bahwa simpul dari permasalahan itu sangat mungkin berada pada faktor budaya politik, khususnya prilaku politik elit daerah.
Untuk lebih tegasnya Irhash menyatakan bahwa ada dua macam penyebab terjadinya kerusakan sistem internal dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah. Pertama, model hegemoni sistem politik pusat yang terlalu kuat terhadap daerah sehingga tidak tersedia ruang gerak bagi kreatifitas lokal untuk menjaga kemandirian etnik mereka. Kedua, faktor komitmen elit kepemimpinan daerah dalam menyatukan peran fungsional sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah, dengan peran moralnya sebagai bagian dari sistem internal itu sendiri.
Pemaparan yang dilakukan oleh Irhash dalam buku ini menggunakan bahasa yang agak tinggi. Dengan kata lain Irhash cukup banyak menggunakan istilah-istilah asing sehingga buku ini lebih cocok dikomsumsi oleh kalangan terpelajar.
*****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
pertamax lg!!
just blogwalking..
ambo baru baco tulisan iko, takana maso2 nan lamo waktu di guo, baa kaba kawan dan kakanda sagalonyo
Posting Komentar