10 Agustus 2008

NEGERI TANAH LIAT











Cerpen DM. Thanthar

Ini adalah negeri tanah liat. Sebenarnya negeri ini terhampar untuk mereka yang tidak serakah. Untuk orang yang jujur, walaupun kejujuran itu sering diartikan dengan kelicikan. Dan, mereka yang serakah sering memperbodoh orang-orang yang jujur itu. Akan tetapi, aku tidak akan bisa mereka perbodoh. Kejujuran yang aku adalah kejujuran yang hakiki.
Ini benar-benar negeri tanah liat. Tumbuh-tumbuhan, apapun juga jenisnya, tidak pernah bisa mendustai sejengkal tanahpun untuk bisa tumbuh, apalagi berkembang biak. Kemarin ada sebatang pohon yang berjuang dengan gigih menaklukan racun tanah liat. Perjuangan yang dilakukan pohon itu semata-mata perjuangan untuk hidup. Ternyata, pohon itu berhasil. Racun-racun tanah liat tidak mampu menghanguskan akar-akarnya. Untunglah sang pohon tidak berjiwa sombong, dengan rendah hati ia menggugurkan daunnya sehingga pertarungannya dengan tanah liat berakhir.
Pengorbanan. Ya..pengorbanan. Paling tidak pengorbanan yang dilakukan oleh pohon yang rendah hati itu tidak sia-sia. Pengorbanannya sarat akan makna. Pengorbanan yang menyisakan pelajaran bagi generasi penerusnya.
Sebagai satu-satunya pohon yang mampu melawan racun tanah liat, sebenarnya ia memiliki banyak kesempatan untuk melakukan apa saja. Akan tetapi, ternyata ia masih memiliki hati nurani. Ia jujur tapi tidak licik. Jiwanya tidak serakah. Padahal jika ia mau, ia bisa menjadi raja di negeri tanah liat. Ia tidak mau melakukan itu, karena ia sadar akan kodratnya sebagai hamba. Hamba yang harus selalu mengabdi kepada tuannya. Aku menyebutnya pohon penguasa.
***

Aku pernah mendengar orang-orang negeri tanah liat membicarakan pohon penguasa. Mereka berpendapat bahwa pohon penguasa adalah pohon yang pengecut, mundur sebelum bertarung. Pohon yang sangat bodoh, tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk generasi penerusnya. Pohon yang tidak berguna, karena terlalu jujur.
“Padahal dengan kekuasaan ia bisa menjadi kaya raya, menjadi terpandang, dan dapat hidup dengan enak.” Ujar salah seorang dari mereka.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarkan pendapat mereka. Pendapat mereka tidak satupun yang sesuai dengan pemikiranku. Mereka seolah tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, dengan arti kejujuran, arti kekuasaan. Aku tahu, mereka terlalu muda untuk menilai dan mengkaji sebuah persoalan hidup. Malah lebih dari itu, aku mencurigai mereka sebagai produk Barat yang selalu memuja-muja materi dan mencintai kebebasan. Kebebasan yang kebablasan. Dan akhirnya, saudara mereka yang bergelut dengan kemelaratan. Saudara mereka yang merana karena hilangnya etika dan rambu-rambu dalam kehidupan. Artinya, mereka dituntun menjadi binatang.
Sebagai seorang pengembara, sudah pasti aku adalah seorang pemuja kebebasan. Namun demikian, kebebasan yang aku anut adalah kebebasan yang terbatas. Aku bebas melangkah sesuai kehendakku. Tetapi aku tidak akan bebas mengembara siang dan malam, karena aku terbatas oleh kemampuan fisikku. Aku akan dibatasi oleh rasa kantuk, oleh rasa lapar, dan oleh rasa letih. Apalagi aku adalah hamba, harus mematuhi rambu-rambu hidup yang telah dititahkan tuanku. Aku diberi hak, tentu aku juga harus menunaikan kewajiban. Jadi, jelas kebebasan yang aku pahami berbeda dengan yang mereka pahami. Kebebasanku adalah kebebasan yang terbatas, bukan kebebasan yang kebablasan. Ketika hal itu aku sampaikan kepada mereka, hanya cibiran yang aku terima.
Aku bukanlah orang yang terpandang dalam kaumku. Aku juga bukan seorang pengajar kebijaksanaan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan pohon penguasa bukanlah tindakan yang pengecut. Mundur bukan berarti gugur, jujur bukan berarti hina dan tidak berguna. Makna yang ada dibalik itu yang harus diselami. Bahwa penguasa tidak boleh serakah, harus jujur. Tetapi, aku sangat meragukan akan bisa menemukan penguasa yang mengundurkan diri dari jabatannya dengan sukarela. Bagaimana mau mundur, mendapatkan jabatan saja harus gontok-gontokan. Paling tidak hal seperti itu telah banyak aku saksikan dari tanah dan negeri yang pernah aku jejak.
Ada makna yang terkandung dibalik kematian pohon penguasa. Makna yang sangat berguna bagi generasi penerusnya. Aku melihat pohon penguasa hanya ingin mengajarkan generasinya akan makna hidup yang hakiki. Hidup harus berjuang. Dengan demikian, maka generasinya tidak hanya membonceng pada kesuksesan yang telah ia raih dengan susah payah. Menjalani hidup harus bercermin kepada setiap sisi kehidupan. Dengan melihat setiap sisi kehidupan suatu generasi akan mengerti akan pahit-manisnya hidup, paham akan hitam-putihnya hidup. Dengan demikian, akan lahir generasi dengan jiwa yang kokoh, yang tidak akan menindas mereka yang lemah.
Ya seperti itulah. Mungkin pola pikir yang berbeda, sehingga otak dan jiwa melahirkan pendapat yang berbeda pula. Tetapi mungkin juga kedalaman pemikiran yang berlainan, sehingga asumsi yang dimuntahkan tidak pernah bisa beriringan. Atau, cara pandang yang berseberang, sehingga lahir ide yang saling tantang.
Namun demikian, apapun yang menjadi pembeda antara aku dan mereka, paling tidak semuanya membuktikan bahwa kami adalah manusia. Manusia memang sangat erat dengan fikiran, karena kalau manusia tidak berfikir berarti belum menjadi manusia. Manusia memang harus berfikir, walaupun hasil pemikiran akan berlainan.
Mereka manusia, aku juga manusia. Tetapi jelas aku bukanlah mereka. Aku adalah seorang pengembara yang berjalan tanpa arah. Aku hanya mengandalkan naluriku menuntun sepasang kakiku untuk menorehkan jejak. Jejak yang mungkin nanti akan berguna bagi anak negeri dari tanah yang aku jejak itu. Termasuk bagi anak negeri tanah liat ini.
***

Aku sangat menyanjung naluri, sama halnya dengan tingginya sanjunganku terhadap hati nurani. Sebagai seorang pengembara, telah banyak tanah dan negeri yang aku jejak. Disetiap tanah dan negeri yang aku jejak itu, selalu muncul pertanyaan dalam benakku.
“Apakah para penguasa disetiap negeri masih memiliki naluri? Masih memiliki hati nurani?”
Pertanyaan itulah yang selalu muncul, tidak pernah berbeda, selalu sama. Kendati demikian, aku juga memahami bahwa pertanyaan tidak akan hadir begitu saja. Sebuah pertanyaan biasanya muncul dari keragu-raguan, sementara keragu-raguan hadir setelah adanya proses pembelajaran dan pengamatan.
Aku pikir tidak aneh jika pertanyaan yang sama selalu hadir dalam benakku. Sebagai pengembara aku telah menjejak banyak tanah dan negeri. Sebagai pengembara aku juga bertualang, dan menjadikan alam sebagai guruku. Alam telah banyak mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan kepadaku. Dengan kearifan dan kebijaksanaan itulah aku dapat melihat segala fenomena yang ada ditiap tanah dan negeri yang pernah aku datangi. Dari pengamatanku aku selalu melihat penderitaan berada di pangkuan rakyat jelata. Kemelaratan seolah-olah telah menjadi jatah rakyat. Sementara kemegahan dan kemewahan mutlak menjadi milik penguasa.
Penguasa-penguasa megeri bergelimang dengan harta. Para kerabatnya hidup dengan makmur tanpa perlu perjuangan. Akibatnya naluri dan hati nurani mereka menjadi mati. Mereka tidak akan pernah bisa merasakan pahitnya hidup para gelandangan. Mereka hanya ternganga ketika manusia-manusia binatang telah berkeliarn di tengah kota. Manusia-manusia binatang itu membuat kekacauan, menimbulkan keresahan dengan merampok, membunuh, memperkosa, menganiaya, menindas kaum lemah, dan merampas hak orang lain.
Pernah suatu ketika, manusia binatang dibunuh oleh seorang pemuda. Pemuda yang muak dengan kelakuan manusia-manusia binatang itu. Namun yang terjadi, pemuda itu malah ditangkap dan diberikan hukuman oleh penguasa. Alasannya hanyalah karena pembunuhan yang berencana, sengaja membawa senjata tajam. Padahal kalau manusia binatang itu tidak dibunuh, akan banyak lagi mereka yang tidak berdosa akan mati. Bukankah penguasa tidak mampu menangkap manusia binatang itu, dan juga tidak mampu melindungi rakyat sepenuhnya. Menurutku itu sungguh sebuah ketidakadilan.
Aku tidak akan memberikan arti apa-apa untuk negeri ini. Aku hanya akan mengatakan bahwa negeri kalian adalah negeri yang sangat kaya. Namun, kalian hidup dalam kemiskinan. Dulu masih ada kekayaan yang bisa kalian banggakan, yaitu kekayaan jiwa dan akhlak. Kini..? Kalian lihat saja sendiri, kalian miskin jiwa dan raga. Tidak ada kata terlambat jika kalian ingin melakukan perubahan.
Aku tidak akan lama berada di negeri tanah liat ini. Sepasang kakiku tidak akan tahan untuk diam dan ongkang-ongkang saja. Kodratku sebagai pengembara mengharuskan aku untuk terus bergerak. Karena, jika aku berhenti bergerak berarti aku tak layak lagi mengukir jejak.
***

Maninjau, 5 Februari 2006

Tidak ada komentar: