14 Juni 2012

Mahalnya Pendidikan Bagi Si Miskin



Oleh: DM. Sutan Zainuddin, S.S

Pendidikan adalah hak semua anak bangsa karena mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu amanat  yang tercantum dalam batang tubuh UUD 1945. Untuk memberikan hak anak bangsa itu pemerintah telah berupaya menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut mengalami perubahan silih berganti mengiringi silih bergantinya pejabat yang mengurusi bidang pendidikan. Hasilnya, saat ini telah ada wajib belajar bagi anak bangsa tetapi hanya sampai jenjang sekolah menengah atas.

Membaca Singgalang Jumat, (8/6/2012) dengan judul Gemi berangkat ke USU, Erni ke UI yang mengabarkan tentang perjuangan anak bangsa dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi membuat saya merinding. Kenapa tidak, begitu berat perjuangan memperoleh pendidikan bagi mereka nan terlahir dalam keluarga kurang mampu secara ekonomi.
Bagi si kaya, kuliah di berbagai universitas ternama, bahkan universitas luar negeri adalah hal yang mudah. Tanpa memikirkan biaya mereka tinggal mendaftar dan menyelesaikan segala administrasi lantas menjadi mahasiswa. Sementara bagi si miskin, jangankan untuk biaya kuliah, untuk biaya keberangkatan saja mereka kocar-kacir dan bahkan harus berhutang dulu.

Berita tentang Gemi dan Erni adalah satu dari sekian kisah yang ada di Harian Umum Singgalang. Dan, dengan pemberitaan itu, anak bangsa yang berasal dari keluarga kurang mampu tersebut mendapat berbagai bantuan dari para dermawan. Bantuan tersebut menjadi setetes embun di padang pasir bagi si miskin. Andai tidak ada pemberitaan di Singgalang akankah si miskin tersebut tetap bisa berangkat melanjutkan pendidikan?

Kisah Gemi dan Erni yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan membuat saya teringat akan cerita nenek saya dahulu. Beliau bercerita bahwa dahulu di suatu nagari pernah ada seorang anak yang memiliki otak cerdas. Hanya saja anak tersebut berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya hanyalah buruh tani dan tinggal di gubuk. Kecerdasan anak tersebut memang diatas rata-rata kawan-kawannya. Oleh karena itu, saat anak tersebut lulus pada sekolah yang setingkat dengan SLTA pada masa kini,  para pemuka masyarakat yang ada di nagari tersebut berunding membicarakan bagaimana caranya agar si anak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat nan lebih tinggi. Padahal bagi si anak dan orang tuanya, lulus SLTA itu saja sudah lebih dari cukup.

Si anak tidak pernah meminta kepada orang tuanya, juga tidak pernah merengek kepada mamaknya agar ia bisa melanjutkan pendidikan. Namun yang terjadi pada saat itu adalah kepekaan mamak adat dan pemuka nagari dalam merespon keunggulan dan potensi nan dimiliki si anak. Bagi mamak adat dan pemuka nagari, keberadaan si anak dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan aset nagari nan harus dimaksimalkan.

Alhasil rundingan mendapat kesepakatan, kesepakatan nan bulek bisa digolongkan nan pipih lah bisa dilayangkan, sadanciang bak basi saciok bak ayam. Seluruh warga nagari menghimpun dana sesuai kemampuan masing-masing untuk bekal si anak melanjutkan pendidikan. Sumbangan yang diberikan kepada si anak sangat beragam, mulai dari sumbangan emas sampai pada sumbangan nasi bungkus untuk bekal makan selama diperjalanan menuju tempat pendidikan. Masyarakat tidak peduli si anak itu anak siapa, bagi mereka si anak adalah anak nagari, milik mereka bersama. Sementara bagi si anak, perjalanannya meninggalkan nagari bukan merupakan perjalanan pribadi melainkan perjalanan sebagai wakil nagari. Bantuan yang dibawanya adalah amanah masyarakat nagari nan mesti dipertanggungjawabkannya.

Jika menilik pada cerita masa lampau di atas, maka akan muncul berbagai pandangan dan pendapat ketika kita melakukan perbandingan kondisi tersebut dengan yang terjadi pada kekinian. Disatu sisi, kesepakatan rundingan yang dilakukan seperti dalam cerita pada masa lampau tersebut tidak pernah lagi  kita dengar pada saat ini. Hal ini mungkin saja disebabkan karena perkembangan pola pikir masyarakat saat ini lebih menjurus pada kehidupan individualis. Disisi lain, kita masih bisa bersyukur karena kepedulian sosial masih ada bahkan telah menembus lintas batas nagari. Hanya saja kepedulian nan lintas batas tersebut belum dikelola secara maksimal sehingga masih berupa bantuan insidentil. 

Meskipun demikian, calon mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu masih dapat bersyukur karena ada Dompet Dhuafa Singgalang yang selama ini selalu menjadi tumpuan akhir keluh kesah mereka untuk menggapai impian melanjutkan pendidikan. Bantuan yang telah disalurkan Dompet Dhuafa Singgalang kepada anak cerdas yang mendapat undangan dari berbagai perguruan tinggi memang sudah cukup banyak. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah pemangku kebijakan bidang pendidikan saat ada rakyatnya yang membutuhkan bantuan dana untuk pendidikan?

Pemberitaan Singgalang yang selalu mengabarkan tentang perjuangan anak-anak miskin dalam meraih mimpi untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi seharusnya menjadi cambuk sindiran bagi pemangku kebijakan di bidang pendidikan di negeri ini. Namun apa dapat dikata, gencarnya pemberitaan tersebut tampaknya belum mampu menyindir pemimpin negeri ini secara maksimal, atau jangan-jangan para pemimpin itu tidak pernah membaca pemberitaan tersebut.

Sindiran pemberitaan Singgalang tersebut kita katakan tidak maksimal, karena sesungguhnya ada beberapa kabupaten/kota yang mulai sadar bahwa anak-anak cerdas yang ada di daerah mereka adalah potensi bagi daerah. Hanya saja, sistem birokrasi nan berbelit dalam mengurus bantuan tersebut yang jumlahnya pun kadang ala kadar membuat keluarga anak-anak cerdas tersebut mundur secara teratur. Lagi pula, tidak jarang mereka mesti berhutang untuk biaya ongkos pulang pergi demi mengurus bantuan. Lantas, nanti setelah bantuan keluar maka sekian persen harus mereka keluarkan untuk membayar hutang. Ujung-ujungnya, jumlah bantuan nan tersisa pun tidak lagi cukup untuk biaya mendaftar dan transportasi ke kampus yang mengundang mereka.

Mencermati kondisi ini, saya hanya bisa membayangkan negeri ini memiliki alokasi khsusus untuk pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Namun bayangan saya itu pun terbentur pada realita betapa banyaknya masyarakat di negeri ini yang sesungguhnya mereka memiliki kecukupan ekonomi namun tidak merasa malu untuk mengaku sebagai keluarga miskin. Nah, jika sudah begini maka apalagi hendak dikata. Makin jauh panggang dari api bagi anak-anak miskin negeri ini untuk menjemput impian pendidikan tinggi mereka. 


Tidak ada komentar: